[Cerpen] Nestapa Atlas

    Jemari Atlas bergetar, siapa sangka hal yang paling ia senangi berubah menjadi neraka. Sekarang ia takut untuk menyentuh gagang kuas, bahkan terlalu takut untuk menatap ke arah kanvas. Lidahnya kelu, semuanya nampak biru, padahal jarum jam masih menunjuk angka tujuh. Aku rindu, seru sebuah suara dari dalam hatinya. 389 hari terlewat, namun bayangmu masih seakan nyata. Setetes peluh turun menjadi saksi bisunya Atlas di dalam luasnya atelier yang sudah tidak bertambah lagi lukisannya. “Dari semua manusia yang aku tau, aku mau Atlas, jadi yang paling bahagia.” 

    Napas Atlas tersengal, tak sengaja ia biarkan luapan emosi membakar perasaan rindunya. Tangannya kuat menggenggam kuas, matanya menabrak dataran kanvas. Tidak akan kubiarkan kamu mati membiru, tidak dalam genggaman kuasku. Hatinya sakit, namun keinginannya tegas, kakinya melangkah keluar, merobek membran yang selama ini ia anggap penghalang. Kuasnya luwes menari di atas kanvas, mencoreng warna biru terang di atas putih.

“Atlas, kamu percaya dengan kehidupan setelah kematian?”

“Tidak.”

Senyumnya terlihat tipis di bawah hujan, dengan bibir sedikit membiru ia menghela napas.

“Aku juga tidak. Tapi bagaimana jika hal itu sungguhan ada?”

“Maka aku akan tetap mencintaimu di kehidupan selanjutnya.”

    Pandangannya mati menatap kanvas, jemari tidak henti gerakan kuas membentuk sebuah objek. Bagai dirasuki, diambilnya cat lain dengan kasar, dibuat warna biru baru yang lebih gelap. Kuasnya tidak berhenti menari, bak di atas permadani. Makin dinginnya udara, namun Atlas seperti mati rasa. Api di dalam jiwanya menggebu-gebu. Tidak boleh mati. Heningnya atelier mulai ditemani suara ketukan pintu, gerakan Atlas goyah, matanya meneliti ke arah kayu gaharu yang sudah diubah menjadi pintu. Dirasa tidak ada jawaban, sosok di luar kembali menggerakan tangannya untuk mengetuk pintu, tiga kali. 

“Atlas!”

“Masuk.” 

    Bunyi derit mendominasi sejenak, pria itu, Bagaskara Chandra dengan mata antusiasnya sibuk menunjuk ke arah luar. Bibir baru mau terbuka untuk mengumandangkan berita terbaru, saat ujung mata keemasannya menangkap kanvas yang akhirnya hidup di hadapan sahabat karibnya. Atlas mengerjap, sadar akan apa yang dilihat oleh Bagaskara. Pria itu berdeham, jemarinya menggeser kanvas agar sedikit menyingkir saat Bagaskara berjalan mendekat. Tangannya hangat bertengger di atas pundak Atlas, namun bibirnya terkatup. Sungguh Bagaskara bukanlah pribadi puitis yang mampu merangkai kata manis, bersyukurlah jika ucapan yang keluar tidak amis.

“Kamu melukis lagi, Atlas.”

“Tidak.”

“Kamu sudah mulai melukis lagi. Lihat!”

    Jemari Bagaskara tunjuk kanvas yang sudah penuh dengan sedikit warna, walaupun tak nyata, tapi sangat jelas jika Atlas menggambar seorang wanita. Pupil mata Bagaskara membesar, tak pernah ia tak kagum akan hasil tangan dewa yang beruntungnya sedang menjelma sebagai sahabatnya.

“Ini dia, ya?”

    Bahkan Bagaskara tau, gadis dengan rambut sebahu serta tatapan mata sayu namun penuh rasa ingin tahu itu milik siapa. Matanya lirik Atlas yang masih menatap kanvas dengan tegas, jemarinya jatuhnya kuas, timbulkan bunyi tuk keras.

“Aku tidak bisa melukis lagi, Bagas.”

“Dulu aku percaya, tapi setelah melihat ini,”

Bagaskara tatap kanvas yang nampak layu tersebut,

“Aku tidak percaya lagi dengan ucapanmu.”

    Angin malam kencang berhembus, menabrak ranting, membuat suara bising, menabrak jendela ruangan. Helaan napas panjang dari bibir Atlas terdengar menyakitkan di indra pendengar Bagaskara.

Museku, sudah tidak ada. Hadirnya sudah tidak ada lagi. Bagaimana bisa aku melukis tanpa adanya inspirasi?”

“Kau bisa mencari muse baru –”

“Tidak ada penggantinya. Yang seperti Nafeda, hanya satu.”

    Mata hijau Atlas tatap lantai ruangan yang terbuat dari marmer, atelier ini sudah sangat lama kosong, bahkan hadirnya Atlas di sini terlihat bohong. Pria itu mendesain ruangan ini bersama dengan belahan jiwanya yang berprofesi sebagai desainer terkemuka. Masih jelas terpatri dalam ingatan, tawa renyah Atlas saat meminta Bagaskara mencarikan arsitek paling mahsyur di kota, tiga tahun lalu lamanya. Namun hari ini kehadiran Atlas bagai memecah segala ketidak-mungkinan yang ada, jemari pria itu kembali gerakan kuas, hidupkan kanvas, memberi napas bagi atelier yang telah lama ditinggalkan. Sungguh jika atelier ini hidup, Bagaskara yakin, akan terdengar jerit tangisan rindu disini.

“Atlas, aku kemari untuk memberi tahumu sesuatu.”

    Bagaskara garuk lehernya yang tidak gatal, pria itu hanya gugup sampai mau sekarat rasanya. Agaknya tidak tepat untuk membicarakan hal ini, namun ada gedoran di dalam hatinya, berteriak untuk sampaikan hal ini kepada Atlas.

“Kau tahu, Saki menulis kisahmu dan Nafeda.”

    Kepala Atlas mengangguk. Dirinya sangat mengenal Saki, pria dengan pribadi pendiam yang aslinya agak nyentrik dan anarkis, namun diam-diam dapat bersifat manis tersebut bekerja sebagai penulis buku. Karyanya selalu ditunggu semua orang, tua atau muda, pria atau wanita, karya Saki selalu dapat dijual dan diterima. Jika ada satu hal yang tidak Atlas sukai dari Saki, hanyalah adiksinya terhadap uang. Atlas percaya bahwa sebuah karya, dapat membukakan jendela, bagi mereka yang percaya. Namun Saki lebih memilih menjual sebuah karya; yang dititik ini, disebut Atlas sebagai menjual jasa tulis, daripada karya.

“Aku tidak terlalu akrab dengannya.”

“Aku tau,”

Bagaskara menjawab dengan cepat, memberi tanda bahwa ia tidak berniat menyinggung sahabatnya,

“tapi kau tau kalau dia sudah pergi ke luar kota sejak satu tahun yang lalu bukan?”

    Atlas mengangguk, mendengar kalimat tahun lalu keluar dari bibir Bagaskara membuatnya seperti dihantam palu, tepat di jantung. Tahun lalu, semua hal yang Atlas benci terjadi. Tapi tidak ada yang lebih menusuk hati daripada kematian wanita yang ia cintai.

“Kata Samudera, dia sudah kembali kesini kemarin, dan berita utamanya adalah, ia membawa seorang wanita kesini.”

Tidak tertarik. Raut wajah Bagaskara mulai nampak gelisah, pandangan mata Atlas benar-benar mati dan ia tidak siap mengatakan berita selanjutnya kepada pria itu.

“Wanitanya benar-benar mirip  dengan Nafeda.”

Pupil mata Atlas membesar, ia tolehkan kepalanya ke arah Bagaskara. Telapak tangannya mengepal, buku-buku jari memutih. 

“Kau memang teman dekatku, Bagaskara. Tapi hal ini sudah diluar batas.”

“Aku serius. Aku sudah menduga kau akan bereaksi seperti ini, jadi aku bertanya pada Saki, apakah mereka memiliki ikatan keluarga, namun Saki berujar pasti kalau wanitanya itu bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di kota kita.” Melihat Atlas yang terdiam, mulai tenang  dan mendengarkan dalam diam, Bagaskara semakin berani melanjutkan ucapannya. 

“Wanita itu koma selama 2,5 tahun dan bahkan dokter berkata ia pasti mati, cepat atau lambat. Tapi tanggal 6 Desember tahun lalu, ia bangun dari koma. Semua orang berkata itu mukjizat.”

“Kau pikir aku akan percaya?”

“Kalau begitu, ayo ikut aku ke rumah Saki.”

    Atlas mematung, terdiam saat mendengar ucapan Bagaskara. Nafeda menghembuskan napas terakhirnya tahun lalu di malam yang dingin tanggal 6 Desember. Ingatan Atlas akan hal itu tidak akan berubah, bagaimana hangatnya darah, membalur syalnya yang juga berwarna merah. Bagaimana ia melolong berteriak, bagai hewan yang enggan di arak, di pergantian hari. Jika sialnya ucapan Bagaskara ini benar, sepertinya Atlas tidak akan sanggup menatap wanita itu. Diambilnya kuas yang jatuh, ujungnya masih berwarna biru, tatapan nanar ke arah  palet kian membeku.

“Aku paling suka warna biru.”

“Kenapa?”

“Karena kemeja yang kamu gunakan saat pertama kali bertemu denganku adalah warna biru, Atlas.”

    Atlas ingat bagaimana ia tertawa renyah sambil mengelus ujung kepala Nafeda dengan penuh rasa sayang saat itu. Nafeda suka menemaninya melukis, katanya Atlas itu dewasudah banyak yang berkata demikian, namun bagi Nafeda, Atlas itu dewanya.

“Keluar.”

    Suara Atlas bergetar, hatinya mulai gentar, digerakannya kembali kuas di atas kanvas, dihidupkannya kembali apa yang seharusnya jangan mati. Tangannya tanpa ragu kembali bergerak tak henti, membuat Bagaskara mematung di tempatnya berdiri. Atlas kembali, kanvas kembali diisi, kuas sibuk menari. Nafeda, lihat. Atlas kembali melukis, batin Bagaskara berseru, ia ingin suaranya menembus langit ke tujuh, ia ingin Nafeda tahu, bahwa Atlas kembali hidup. Atlas kembali melukis, pria itu kembali mengukir sebuah mahakarya yang dirindukan semua orang.

“Aku akan menemuimu nanti, saat Nafedaku selesai.”

Mata Bagaskara memanas, air matanya memaksa keluar, buat kepalanya mengangguk  cepat.

“Iya! Kembalilah melukis, aku akan menunggumu sampai kapanpun itu.”

    Senyum Atlas mengantar kepergian Bagaskara keluar dari atelier, pria itu menutup rapat pintu, sebelum langkah kakinya yang berlari terdengar jelas dari tempat Atlas duduk. Mata pria itu layu menatap kanvas, bibirnya bergetar, bahkan kuas yang ia genggam menghentikan tariannya. Atlas tarik napas panjang saat akhirnya ia menunduk dan berteriak, kuas yang ada di genggamannya patah, mati. Tubuhnya bergetar, ditatapnya nanar lukisan yang sudah hampir sempurna di hadapannya. Birunya seperti ingin berteriak pilu, namun hanya diam membisu, memandang sang pelukis yang diam membatu.

“Nafeda, aku rindu.”

 

 


Written originally by PB.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama