"Mahasiswa, Calon Buruh yang Enggan Mengaku!"

 

"Mahasiswa, Calon Buruh yang Enggan Mengaku!"

Di pagi yang sibuk, lorong-lorong kampus dipenuhi langkah mahasiswa yang terburu-buru. Ada yang membawa laptop, ada yang membawa buku, dan ada pula yang sekadar lewat dengan pandangan kosong. Suara dosen mengisi ruang kelas, presentasi demi presentasi dilakukan, dan rencana masa depan dibahas semuanya terdengar optimistis. Namun, di balik semangat itu, ada sesuatu yang luput dari kesadaran kolektif: bahwa kelak, hampir semua dari mereka akan menjadi buruh.

Kata "buruh" jarang terdengar di kampus. Ia seperti istilah asing yang dianggap jauh dari kehidupan akademik. Mahasiswa lebih suka membicarakan ‘karier’, ‘profesi’, atau ‘posisi strategis’. Mereka membayangkan dirinya akan jadi manajer, konsultan, ASN, atau wirausahawan sukses. Tak banyak yang melihat kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka, tak peduli jurusan apa, pada akhirnya akan bekerja untuk orang lain menjual tenaga, waktu, dan pikiran untuk mendapatkan upah.

Kesadaran itu masih minim, bahkan nyaris tak ada.

“Saya sih nggak mau jadi buruh, saya sudah berusaha selama kuliah supaya nggak jadi buruh,” ujar seorang mahasiswa Teknik ketika ditanya tentang rencananya setelah lulus. “Saya maunya kerja di perusahaan multinasional atau dipertambangan, jadi Engineering Manager

Ungkapan seperti itu bukan hal aneh. Banyak mahasiswa tak menyadari bahwa menjadi ‘karyawan’ dalam sistem kerja modern tetap berada dalam posisi buruh hanya saja dibungkus dengan istilah yang lebih keren. Mereka akan tetap menerima perintah, mengejar target, dan bergantung pada keputusan atasan. Status mereka bergantung pada kontrak kerja, bukan pada gelar sarjana semata.

Namun, tak semua mahasiwa beranggapan seperti itu salah satunya adalah Malik Mulki Muhaimin dari Teknik Elektro yang menjelaskan bahwa buruh adalah individu yang menjual tenaga atau keahliannya untuk memperoleh penghasilan. “Kita semua memang calon buruh apalagi posisinya kita kuliah di Teknik ya. Jadi nggak bisa tiba-tiba menjadi atasan, ya harus merangkak dari bawahan terlebih dahulu,” tegasnya.

Fenomena ini muncul karena selama bertahun-tahun, pendidikan tinggi dikonstruksikan sebagai alat mobilitas sosial. Bahwa kuliah adalah jalan untuk keluar dari kemiskinan, untuk ‘naik kelas’. Mahasiswa diajarkan bersaing, bukan bersolidaritas. Mereka dilatih menjadi individu yang kompetitif, bukan manusia yang sadar posisi kelasnya.

Padahal kenyataannya, ketika mereka memasuki dunia kerja, banyak yang terkejut. Tidak sedikit lulusan perguruan tinggi yang akhirnya bekerja di posisi yang tidak sesuai jurusan, bergaji rendah, atau menjadi bagian dari sistem kontrak yang tidak memberi jaminan jangka panjang. Mereka mulai mengerti gelar tak otomatis mengangkat derajat, apalagi memberi kuasa atas hidup sendiri.

Namun karena kesadaran itu datang terlambat, banyak yang akhirnya pasrah. Mereka menjalani hari demi hari sebagai pekerja tunduk pada sistem, tapi tak tahu cara melawannya.

Inilah pentingnya membangun kesadaran sejak di bangku kuliah: bahwa mahasiswa bukan calon elite, tapi bagian dari rakyat pekerja. Bahwa pendidikan bukan jaminan kebebasan, melainkan alat untuk memahami kenyataan. Dan bahwa masa depan yang adil hanya bisa dibangun bila mahasiswa berhenti berpura-pura bahwa mereka akan selalu berada di atas.

Kesadaran ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mempersiapkan mereka menghadapi dunia nyata dengan mata terbuka, hati sadar, dan tekad untuk tidak sekadar bertahan, tapi juga memperjuangkan yang layak.

Tertarik untuk berdiskusi lebih lanjut? Datang dan berdiskusi di MILAD LPM KONTUR pada tanggal 28 Mei 2025 di Seminar FEB Pukul 19.00 WIB

Kalau kamu merasa cukup pintar untuk menghindari nasib jadi buruh, atau cukup sadar untuk melawan sistemnya maka kamu wajib hadir.

Acara ini bukan buat mereka yang nyaman dengan ilusi. Ini buat kamu yang ingin membuka mata, mempertajam sikap, dan memikirkan ulang: sebenarnya kampus ini membawamu ke mana?

 

 

 

 Penulis : Novita Syahrul Ayu Lestari

 

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama