Di tengah era digital yang terus berkembang pesat, dinamika pada dunia pendidikan pun mengalami perubahan signifikan, kelas-kelas yang dulu dipenuhi mahaiswa yang antusias mencatat setiap penjelasan dari dosen, kini mulai tergerus dengan seiring berkembangnya zaman. Distraksi semakin tak terelakan. Salah satu yang paling menonjol adalah penggunaan teknologi digital yang meskipun bermanfaat, justru kerap menggeser fokus mahasiswa selama jam kuliah.
Berjalanlah ke ruang-ruang kuliah di kampus manapun hari ini, pemandangan yang umum adalah mahasiswa yang asyik menunduk menatap gawai, telinga tersumbat earphone, atau duduk di depan laptop namun bukan materi kuliah yang mereka perhatikan. Perangkat yang harusnya mendukung pembelajaran kini menjadi sumber utama gangguan.
Fenomena ini tidak hanya terjadi secara kebetulan.
Teknologi modern menghadirkan beragam kemudahan dan informasi dalam hitungan
detik, tetapi pada saat yang sama, ia menciptakan kebergantungan yang tinggi
terhadap hal-hal instan. Aplikasi media sosial, pesan instan, dan
hiburan digital seolah berlomba-lomba untuk menarik perhatian mahasiswa dari tugas
mereka yaitu untuk belajar dan berkembang. Pada akhirnya ketertarikan pada
perangkat digital ini membuat kemampuan untuk fokus semakin terkikis.
Namun, lebih mirisnya adalah munculnya
tren di kalangan sebagian mahasiswa yang bangga dengan penyimpangan ini.
Tidak sedikit dari mereka yang menganggap ketidakfokusan di kelas sebagai hal
yang lucu atau bahkan layak dipamerkan. Mereka seringkali dengan sengaja
mengabadikan momen saat mereka tidak memperhatikan di kelas, entah sedang bermain
ponsel, tidur, atau melakukan hal-hal yang tidak relevan dengan pembelajaran, lalu
mengunggahnya pada media sosial. Unggahan ini kerap mendapatkan tanggapan
positif dari teman-teman mereka seolah olah tindakan tersebut merupakan
bentuk pemberontakan kecil terhadap peraturan-peraturan
akademik.
Ini menciptakan lingkaran sosial yang memperkuat
perilaku menyimpang tersebut. Ketika penyimpangan dijadikan bahan candaan dan
dirayakan secara terbuka, tidak hanya menghilangkan rasa malu atau tanggung
jawab, tetapi juga mendorong mahasiswa lain untuk mengikuti jejak yang sama.
Media sosial, yang pada awalnya dirancang untuk berhubung
dan berbagi, malah menjadi platform untuk merayakan kelalaian
dalam belajar. Ironisnya, teknologi yang seharusnya mendukung perkembangan
intelektual justru digunakan untuk mendokumentasikan momen-momen “lucu”
yang menghambat kemajuan pendidikan.
Fenomena ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada
mahasiswa. Beban akademik yang semakin berat, tuntutan pekerjaan paruh waktu,
serta tanggung jawab lain di luar perkuliahan kerap menyebabkan kelelahan
mental. Mahasiswa dipaksa untuk membagi fokus antara berbagai hal, sehingga
perhatian mereka terhadap materi kuliah pun sering kali terpecah. Selain itu,
beberapa metode pengajaran yang masih kaku dan kurang interaktif juga membuat
mereka kesulitan mempertahankan minat selama jam pelajaran.
Motivasi pun menjadi faktor yang krusial. Mahasiswa
yang tidak melihat relevansi langsung antara materi kuliah dan cita-cita mereka
di masa depan cenderung kehilangan semangat. Ketika mereka merasa bahwa apa
yang diajarkan tidak berhubungan dengan apa yang ingin mereka capai, perhatian
mereka pun mulai beralih ke hal-hal yang menurut mereka lebih menarik atau
relevan, walaupun itu sekadar hiburan sesaat di dunia maya.
Solusi atas masalah ini tentu tidak sederhana, namun
bukan pula hal yang mustahil. Pendekatan baru dalam pengajaran yang lebih
interaktif, relevan, dan menarik perlu terus diupayakan oleh dosen dan
institusi pendidikan. Penggunaan teknologi dalam pendidikan bisa menjadi alat
yang sangat efektif bila digunakan dengan cara yang tepat, bukan sebagai distraksi. Di sisi lain, mahasiswa juga
perlu menumbuhkan kesadaran dan disiplin diri dalam mengelola waktu serta
memprioritaskan pendidikan.
Perubahan tidak terjadi dalam hitungan jam, tetapi
dengan kerjasama antara dosen dan mahasiswa, serta pemanfaatan teknologi secara
bijak, akan ada harapan bahwa fokus belajar di ruang-ruang kuliah
dapat kembali dipertahankan. Pembelajaran di era digital seharusnya bukan
menjadi tantangan yang memisahkan kita dari ilmu, tetapi kesempatan untuk lebih
dekat dengan pengetahuan yang semakin luas.
Penulis: Novita Syahrul A.L