LIR
“Si
Yadi ndak nongkrong di sini lagi yo Mas?” asap berkebul keluar dari mulutnya, diikuti tawa.
“Hush,
ngomongnya tu loh! Ngawur!” sahut
Pakdhe Kardi.
Mas Bagas ini memang ceplas-ceplos orangnya. Benar yang
dikatakan Dhe Kardi. Tidak baik membicarakan orang yang sudah meninggal.
Ia ditemukan terkapar di ranjangnya dengan mulut menganga
dan berbusa. Di mejanya ada bekas bungkus semacam obat-obatan, yang tak lama
diketahui adalah racun tikus. Sudah hampir seminggu sejak kejadian itu, masih
hangat diperbincangkan. Kematian Mas Yadi ini memang sangat misterius. Banyak
asumsi-asumsi di masyarakat. Sampai sekarang masih abu-abu.
“Banyak
kejanggalan pada kasus ini,” Mas Rifki membuka diskusi.
“Setuju
Mas, hasil penyelidikan polisi sangat tidak memuaskan. Ndak mungkin seorang Mas
Yadi bunuh diri!” pak RT penuh kesal.
“Saya
kenal betul siapa Yadi,” Mas Bagas mematikan rokoknya. “Dia tidak mungkin
memilih mati sia-sia. Kalau ada masalah, paling banter dia nangis di kuburan bapak ibunya. Itu aja minta
ditemenin,” menyeruput kopi perlahan.
Aku juga kenal betul siapa Mas Yadi. Sejak aku kecil, Mas
Yadi sudah sering mampir di angkringan bapak. Di sini pula ia bertemu dengan
istrinya, Mbak Evi. Mas Yadi orang yang sangat tekun, pintar, dan berwibawa.
Aku sangat ingat kalau Mas Yadi selalu bapak jadikan contoh baik untukku. Itu lhoh, koyo Mas Yadi. Kami semakin
akrab setelah ia menikah dengan Mbak Evi dan tinggal di rumah mertuanya. Tempat
tinggalku persis disebelahnya. Sering sekali ia membantuku menyelesaikan tugas
sekolah, mengajakku bermain game di hpnya atau mengajakku bermain futsal
seperti tiga minggu lalu. Ah, malang sekali orang baik ini.
“Aku
yakin kalau polisi menyembunyikan sesuatu. Pasti dia dibayar!” Mas Rifki
menggebu-gebu.
“Nah,
sapa ini yang bayar?” Mas Dwi tiba-tiba datang bergabung.
“Menurutku
ya, bukan ding. Menurut bojoku ya,
ini pasti ulah Bu Siwi!” kata pak RT dengan yakin.
“Mertuanya?
Bojomu itu kebanyakan nonton sinetron Pak! “ Mas Bagas tertawa kecil.
“Ibu-ibu
kita itu lebih jeli lhoh, tidak ada privasi antara mereka.” Pak RT
menggebu-gebu.
“Mak..maksudnya
pak?” Mas Dwi mengunyah bakwan yang baru matang dengan hati-hati.
“Kata
ibu-ibu, Bu Siwi itu sebenarnya ndak suka sama menantunya. Status keluarganya
ndak ada perubahan sama sekali! Bikin malu saja! Gitu katanya,” jelas pak RT.
Asumsi ini wajar. Aku membenarkan soal Bu Siwi yang tidak
suka dengan menantunya dan blablabla.
Tapi aku tahu benar, Bu Siwi harus menjual sawahnya untuk membayar polisi dan blablabla. Sawahnya masih utuh. Banyak
juga yang tidak diketahui mereka. Bu Siwi tetap sangat bersyukur memiliki Mas
Yadi. Setidaknya itu yang ia katakan saat berbincang dengan suaminya di teras.
Beberapa hari sebelum suaminya meninggal, dibacok orang tak dikenal saat pulang
dari rumah anak pertamanya.
“Ngeri
betul ya,” Mas Dwi bergidik.
“Sepertinya
berlebihan pak RT,” komentar Dhe Kardi setelah menyimak dengan serius.
“Kita
ini wong cilik lhoh. Bisa makan
sekali saja sudah bersyukur. Buat apa bunuh-bunuhan?” Mas Bagas mulai meninggi
nandanya.
Hening
sejenak. Mereka semua berpikir.
“Kalau
menurut saya, ni jelas Mbak Evi!” Mas Dwi menerka sambil menyeruput kopinya.
“Lhoh
kok malah Evi? Evi kan tidak di rumah.”
Mas Rifki menyanggah.
Hari itu, Mbak Evi dan ibunya memang pergi. Saat Mas Yadi
pulang, rumah masih kosong. Ia pulang membawa tas besar. Aku dan bapak sedang
bergegas karena gerimis. Hari itu angkringan kami laris manis karena seharian
mendung dan dingin, jadi kami pulang lebih awal. Aku tidak bisa tidur malam
itu. Sebenarnya karena mengerjakan tugas-tugas yang aku numpuk. Malam itu
sunyi, tidak ada tanda-tanda orang datang atau bahkan sekedar lewat di sekitar
sini. Hanya suara hujan yang tidak begitu deras. Dalam keheningan itu, aku
mendengar sesuatu. Suara bayi. Awalnya aku pikir hanya halusinasi. Mungkin aku
hanya lelah. Tapi semakin lama suaranya semakin jelas dan membuatku tersentak.
Aku mulai penasaran. Aku coba mencari sumber suara itu. Suara itu dari rumah
sebelah. Rumah Mas Yadi.
“Bagaimana
kalau ini semua dhemit?” Mas Rifki
membuat semua geleng-geleng.
“Apa
lagi ini?” Mas Bagas keheranan.
“Lhoh
kalau bukan orang tentu saja kerjaannya dhemit.
Ada yang ngirimi mungkin,” Mas Rifki
mencoba meyakinkan.
“Kalau
memang dikirimi, kenapa tidak santet saja? Selesai to! Kenapa harus dibuat
seolah-olah dia bunuh diri?” semua mulai memikirkan sanggahan Mas Dwi.
“Ya
sengaja bikin huru-hara dong, biar dramatis gitu! Mungkin saingannya mas Yadi
di kantor ini!” Mas Rifki semakin yakin dengan asumsinya.
“Wong
cuma satpam kok pakai saingan,” Mas Bagas masih tidak sepakat.
“Ada
dendam-dendam yang lain mungkin.” tidak ada yang sepakat dengan Mas Rifki.
Semua hanya sepakat dengan asumsi masing-masing.
Sayangnya itu kurang tepat. Benar racun itu kiriman. Bapak
yang mengirimkan. Aku mendengar bapak membuka pintu kamarnya, setelah suara
bayi itu perlahan hilang. Aku pura-pura tidur di kamar, bapak membuka pintu
kamarku lalu mematikan lampu. Bapak keluar dari rumah sangat pelan. Aku
mengikuti bapak. Ternyata ia menemui Mas Yadi. Mas Yadi memberikan tas besar
yang tadi ia bawa pulang. Lalu, bapak memberikan bungkusan tadi kepada Mas
Yadi. Ia ingin segera mengambil tapi tangannya ditahan oleh bapak. Dengan suara
yang sangat dalam, bapak berkata lirih “Untuk apa mas? Kalau bisa jangan
sampai!” suara bapak terdengar gemetar. Aku tidak paham apa yang mereka maksud.
Mereka berpelukan dan menangis sejadinya. Mas Yadi masuk rumah membawa bungkusan
itu. Aku masih terheran dengan tanda tanya besar. Bapak kembali dan mendapatiku
terpaku. Bapak menghapus air matanya. Saat itu hujan sudah cukup reda. Bapak
menaiki motornya, tas besar itu ditaruh di depan.
“Ayo
naik,” dengan suara sangat lirih dan berat.
“Kemana
Pak?” aku naik, masih sangat kebingungan. Bapak hanya diam sepanjang
perjalanan. Kami sampai di sungai dekat TPU pusat.
Obrolan mereka semakin seru
gara-gara perkara dhemit tadi. Muncul kecurigaan-kecurigaan baru. Semua
mengarah pada keluarga Mbak Evi. Aku dan bapak tidak pernah disinggung.
“Kalau
saya malah curiga ada hubungannya dengan tas berisi bayi, yang ditemukan di TPU
pusat beberapa hari lalu.” Dhe Kardhi mulai berasumsi setelah banyak menyimak.
“Maksudnya
bagaimana ini Pak?” pak RT penasaran.
“Bisa
jadi kematiannya ini karena bayi itu, bayi yang tidak dihara...” belum habis Dhe Kardi bicara, Mas Bagas
terpancing emosi.
“Wah
Pak, jangan fitnah dong! Yadi itu orang baik-baik Pak! Tidak mungkin dia
melakukan hal sekotor itu!” Mas Bagas tidak terima dengan asumsi itu, ia merasa
sahabatnya dihina.
“Bukan
fitnah, ini hanya asumsi saya dengan fakta-fakta yang ada!” Dhe Kardi mencoba
menenangkan.
Aku melihat bapak mulai berat nafasnya. Bapak memintaku
untuk menggantikannya sebentar. Ia lari ke rumah.
Di situ sangat gelap. Tidak ada penerangan sama sekali. Kami
turun dari motor, berjalan dengan cepat namun tenang. Bapak menggandeng
tanganku dengan erat. Tas itu di taruh perlahan di salah satu tumpukan sampah,
di dekat pagar TPU pinggir sungai. Setelah itu, kami pulang. Terlihat dari
spion bapak mulai menagis lagi. Aku memeluk bapak dengan erat. Sangat erat.
Sampai tak sadar aku ikut menangis.
“Jangan jadi seperti Mas Yadi Le. Jadi dirimu sendiri saja” bapak menepuk-nepuk tanganku yang
melingkar di perutnya.
-thelaila
Tags
Online