Kotak Cinta Untuk Ibu Tersayang
Hari-hariku di kampus dipenuhi dengan kegiatan di orgamawa. Ditambah dengan jadwalku memberi les kepada anak umur SD
Semua terasa berat, ingin rasanya aku memiliki satu hari yang khusus dihadiahkan untukku. Agar aku bisa beristirahat. Sedikit menghirup udara segar dan terbebas dari rutinitas dunia kampus yang terlalu padat.
Aku adalah mahasiswa kos di dekat kampus. Rumahku yang jauh membuatku selalu rindu dengan kedua orang tuaku.
Rasa capek dan bosan sering membuat sikap malas menghinggapiku yang telah letih untuk menjalani kegiatan kuliah dan kegiatan lain di luar kampus. Tapi, aku selalu mencoba menepisnya.
Aku tak ingin perjuangan orang tuaku di desa dengan bekerja keras sia-sia hanya karena sikap malasku di tanah rantau kuliah. Aku ingin kuliah dengan benar dan sungguh-sungguh supaya bisa membuat orangtua bangga.
Aku lantas beranjak dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi dan bangun untuk menunaikan ibadah sholat shubuh dan membaca Alqur'an sebentar.
Aku sambar handuk di atas kasur, dan dengan menarik napas dalam-dalam aku berkata. "Aku harus semangat..! Kamu tidak boleh malas, Don," kataku sendiri mencoba untuk menyemangati.
Aku buka buku yang terlihat besar dan lebih lebar dari bukuku yang lain. Aku mencoba melihat pekerjaanku kemarin. Beginilah pekerjaanku sebelum hari rabu tiba, mengerjakan tugasku akuntansi.
Karena aku mengambil prodi teknik sipil, mau tidak mau aku harus bergelut dengan angka-angka dan gambar yang aku sendiri tak tahu.
Meskipun begitu, Teknik sipil adalah mata pelajaran yang aku sukai ketika aku masih di SMK. Oleh karena itu, aku ingin melanjutkan pengetahuanku mengenai teknik sipil di jenjang perguruan tinggi ini.
Aku merasakan kesenangan tersendiri dengan kumpulan angka-angka yang menarik itu. Perhitungannya jelas.
Usai mengerjakan soal teknik sipil, aku membereskan buku-buku di rak yang berantakan. Aku pun memasukkannya ke dalam kardus agar rakku tidak penuh dengan buku.
Tiba-tiba aku menemukan kotak berwarna coklat. Aku ingat, ini adalah kotak kue yang dulu pernah aku berikan untuk ibuku. Tepat di hari ibu dan hari ulang tahun ibuku.
Aku langsung menuju kalender yang menempel di dinding kamarku. Mataku terus berjalan mencari bulan, kemudian mencari hari.
Tampak angka 12. Kurang sepuluh hari adalah hari ibu dan tepat ulang tahun ibuku.
Aku kemudian duduk di atas kasur. Aku terus mengamati kotak kue dari kardus itu.
"Ingin sekali aku melihat senyum dan kebahagiaan itu kembali dari raut wajahnya," kataku yang mulai sedih terbawa suasana.
Aku sudah lama tidak pulang ke rumah. Tugasku memberi les dan kegiatan di organisasi cukup membuatku kewalahan, antara tanggung jawab dan kerinduan teramat dalam pada kampung halaman.
"Aku ingin pulang, Ibu, Bapak," teriakku tertahan.
Aku peluk kotak itu erat-erat. Kotak cinta untuk ibu yang mungkin akan aku buat lagi di tahun ini. Kotak Cinta yang selalu aku buat khusus untuk ibuku. Di hari ibu dan dihari ulang tahunnya.
Aku mulai berpikir untuk memberikan sesuatu yang berkesan di hati ibuku. Momen yang aku nanti-nantikan. Aku ingin memberikan kotak cinta itu untuk ibu.
"Kira-kira, aku ingin mengisi kotak itu dengan apa, ya?" pikirku.
"Don, ngelamun apa, sih?" Tanya Roni.
"Ah.., tidak, Ron. Aku tidak melamun, kok," jawabku.
Dibilang kaget, aku jawabnya juga santai. Masih mikir juga untuk menjawab pertanyaan Rudi.
"Sabtu depan pulang, kan?," tanya Roni.
"Insya Allah, semoga di kampus tidak ada acara dan kegiatan. Aku ingin pulang, Rud. Aku kangen Ibu dan Bapak. Terutama Nila adikku. Sudah lama aku tidak pulang dan berkumpul mereka," kataku berbagi beban di pundak ini pada sahabatku.
"Aku tahu, Don. Kalau kamu mau, kamu pakai saja uangku dulu untuk pulang." Rudi menawarkan bantuan.
"Tidak usah, Rud. Kamu kan juga butuh uang untuk pulang," aku berusaha menolaknya.
"Tidak apa-apa, Don. Aku sabtu depan ada acara di kampus. Jadi, aku tidak pulang," Rudi menjelaskan.
Aku pun terdiam sejenak untuk memikirkan tawaran Roni, antara senang dan perasaan tidak enak pada Rudi. Senang karena aku bisa pulang dan bertemu dengan Ibu, Bapak, dan Lia. Tapi, Rudi sudah terlalu banyak menolongku.
"Bagaimana, Don?" Tanya Rudi kembali, meminta kepastianku.
"Iya, Rud," aku pun menerima bantuan itu, karena aku ingin sekali bertemu dengan Ibu.
Namun nyatanya, aku tidak bisa pulang Sabtu depan. Ada kegiatan organisasi yang harus aku selesaikan.
Penggalangan dana untuk saudara-saudara yang sedang tertimpa masalah di Gaza, akan diadakan sabtu depan. Dengan perasaan sedih, aku harus mengikhlaskan.
"Ibu, selimut ini tidak akan datang di hari ulang tahun Ibu."
Aku memandangi kotak yang berisikan selimut berwarna biru. Aku ingin ia menemani malam-malamnya. Aku ingin kehangatan melindungi tubuhnya. Aku ingin selalu ada di dalam mimpi-mimpinya.
Aku merasakan timangan kasur nan empuk di kamarku. Perlahan-lahan, diriku dibawa terbang ke awan. Menyusuri pulau nan indah bersama ibuku.
Kami sekeluarga terlihat gembira dan begitu menikmati. Aku melihat senyum yang begitu natural, senyum yang terpancar dari hati. Sesuatu yang Ibu ekspresikan dengan tulus.
"Buatlah Ibu bangga, Don. Jangan biarkan orang lain merendahkan dan meremehkan kita. Aku yakin kamu pasti bisa membuat Ibu tertawa dan bahagia lebih dari hari ini," kata Ibu memegang telapak tanganku. Tangannya begitu hangat.
Aku akan membahagiakanmu selamanya, Bu. Ingin sekali senyum itu nyata dari hatimu, tanpa ada yang engkau sembunyikan.
Perlahan-lahan genggaman ibu merosot dari genggamanku. Aku merasa kebingungan, dan mencoba menahannya.
Tapi, ujung jariku sudah menyentuh kukunya dan tiba-tiba tangan ini sudah tak menggenggam tangannya lagi.
"Ibu," teriakku terkejut.
Aku mencoba mengatur nafas dan mencoba memasuki duniaku yang sebenarnya.
Lelah dan kerinduan telah mengantarkanku pada mimpi bertemu dengan Ibu. Kotak itu secara tiba-tiba melintas di dalam pikiranku dan hinggap di sana.
Aku menarik selembar kertas dari bukuku. Tanganku dengan lincah menari-nari di atas kertas itu, merangkai kata-kata.
"Aku berjanji, Bu, meski mengucapkannya dalam mimpi, aku yakin, itu adalah apa yang selama ini Ibu harapkan. Apa yang selama ini ibu tunggu-tunggu.
Aku akan membuat Ibu bahagia. Lebih dari hari ini dan hari selanjutnya. Selimut ini akan menghangatkan malam-malam Ibu.
Jika Doni pulang nanti, bawalah ia untuk menemani tidurmu, Bu. Hanya ini yang bisa Doni berikan. Tak sebanding dengan kehangatan cinta Ibu yang selalu menghangatkanku."
Aku menitikkan air mata, dan jatuh dalam kotak itu.
"Tunggulah sampai anakmu pulang, Bu. Doni di sini baik-baik saja. Semoga ibu dapat tersenyum untuk selamanya. Doni berjanji, Bu."
Aku menghapus air mataku. Aku harus semangat, semangat!
Aku menutup kotak itu dan kubawa ke dalam kamar. Aku memasukkannya dalam lemari.
"Tinggallah di sini sementara, kotakku. Sebentar lagi engkau akan bertemu dengan ibu. Aku tahu, engkau pasti tidak sabar bertemu dengan Ibu."
Aku kemudian mengambil hp yang ada di tasku, hp lama pemberian dari keponakan Ibu. Tak apalah, dengan hp ini aku mendengarkan lagu Mother How Are You Today.
"Tunggu aku pulang, Bu. Aku sangat mencintaimu," kataku dengan tersenyum di balik kerinduan yang teramat dalam.
Penulis : Ainun Fajri Darmawan