2 Essay Pemenang Konturation 2020

 



Dalam acara KONTURATION (Kontur with Your Heart) kali ini, LPM KONTUR FT UMS mengangkat tema "Mental Health" yang merupakan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat berbagai negara di dunia. Mental issue dewasa ini banyak menjangkiti kaum muda. Dengan mengangkat tema ini, kami berharap masyarakat lebih menanggapi masalah kesehatan ini sebagai sesuatu yang serius serta menjaga kesehatan mentalnya dengan baik. Dalam event kali ini, LPM KONTUR FT UMS menyelenggarakan 5 cabang lomba, yaitu puisi, poster, fotografi, cerpen dan esai. Berikut karya-karya menginspirasi yang terpilih sebagai pemenang:


Juara I

Arsy Bugara Saputra

(Teknik Mesin)


Anxiety 4.0

Kesehatan mental menurut ahli kesehatan Merriam Webster, merupakan suatu keadaan emosional dan psikologis yang baik, dimana individu dapat memanfaatkan kemampuan kognisi dan emosi, berfungsi dalam komunitasnya, dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Inti dari kesehatan mental sendiri adalah lebih pada keberadaan dan pemeliharaan mental yang sehat. Akan tetapi, dalam praktiknya seringkali kita temui bahwa tidak sedikit praktisi di bidang kesehatan mental lebih banyak menekankan perhatiannya pada gangguan mental daripada mengupayakan usaha-usaha mempertahankan kesehatan mental itu sendiri. Gangguan mental berkontribusi sebesar 23% terhadap beban kesehatan mental dunia. Tingginya angka prevalensi gangguan mental berdampak pada beban sosial dan ekonomi. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) menunjukkan prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 per mil, yang artinya 1-2 orang dari 1000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional secara nasional pada tahun 2013 sebesar enam persen (37.728 orang dari subjek yang dianalisis). Angka bunuh diri di Indonesia juga terus meningkat hingga mencapai 1,6 - 1,8 tiap 100.000 penduduk. Adapun kejadian bunuh diri tertinggi berada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda (15 – 24 tahun). Fenomena bunuh diri di Indonesia meningkat pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap sumber tekanan psikososial yaitu pengungsi, remaja, dan masyarakat sosial ekonomi rendah (World Health Organization, 2012).

Kemajuan teknologi telekomunikasi dalam dua dekade terakhir membawa perubahan besar dalam pola perilaku dan interaksi manusia. Di jaman sekarang ini, siapa yang tidak mengenal internet dan gadget, dua produk utama dari kemajuan teknologi komunikasi. kemajuan teknologi umumnya tidak hanya membawa dampak positif namun juga memiliki dampak negatif. Kemudahan interaksi sosial, berekspresi, dan akses menjadi dua mata pisau yang siap melukai penggunanya. Berdasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019 pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20% dari survei sebelumnya. Sementara pengguna media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48% dari populasi. Dari sekian banyak media sosial, Instagram paling banyak digunakan oleh dewasa muda beberapa dekade terakhir. Menurut artikel CNNIndonesia.com yang dikutip dari Santhika, (2017) mengatakan bahwa remaja penghasil dan konsumen fitur instagram terbesar. Riset yang dilakukan Instagram menunjukkan bahwa pengguna usia remaja menikmati empat kali lebih banyak dan mengunggah enam kali lebih banyak per hari dibanding pengguna lain.

Banyaknya media sosial saat ini membuat para pengguna betah untuk mengakses jejaring sosial tersebut. Intensitas penggunaan media sosial sendiri sangat beragam dari anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Namun, jika kita melihat fenomena yang terjadi saat ini, pengguna aktif media sosial adalah anak-anak remaja akhir atau dewasa awal yang berusia 18- 24 tahun. Intensitas sendiri adalah merupakan kekuatan atau kedalaman sikap terhadap sesuatu. Intensitas dapat dikatakan sebagai bentuk ketertarikan seseorang berdasarkan kualitas dan kuantitas yang ditunjuk individu tersebut. Tingginya intensitas penggunaan media sosial di kalangan remaja maupun dewasa memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental secara tidak langsung.

Media sosial dapat menyebabkan stres, depresi, harga diri rendah dan ide bunuh diri

Media sosial berfungsi sebagai platform bagi pengguna untuk berbagi komentar dan mengekspresikan pandangan, dan ini dipandang sebagai risiko bagi remaja. Implikasinya adalah bahwa jenis kegiatan ini berdampak pada kesejahteraan emosional mereka dan berdampak negatif pada suasana hati. Penggunaan media sosial juga menciptakan kesempatan untuk mendapat tekanan emosional dari menerima komunikasi yang mengancam, melecehkan, atau memalukan dari remaja lain, yang disebut penindasan maya. Penindasan maya telah terbukti menyebabkan tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi bagi korban daripada intimidasi tradisional dan juga telah dikaitkan dengan kasus bunuh diri remaja dengan remaja yang diketahui terlibat dalam membaca komentar yang menyakitkan beberapa hari sebelum usaha bunuh diri.

Media sosial membuka orang untuk bullying dan trolling

Seperti yang disebutkan di atas, sudah pasti bahwa salah satu masalah konsekuensi dari era digital adalah munculnya cyberbullying. Tinjauan cakupan baru-baru ini dari studi internasional tentang cyberbullying menunjukkan prevalensi rata-rata 23%, dengan media sosial menjadi platform utama, di samping jejaring sosial dan aplikasi lainnya.25 Cyberbullying adalah masalah yang banyak dibicarakan dan dirasakan sebagai risiko nyata bagi kesehatan mental dan kesejahteraan anak muda. media sosial telah menyediakan mekanisme bagi orang lain untuk terlibat dalam perilaku yang merupakan bullying, yang pada gilirannya dapat menciptakan rasa isolasi dan berdampak negatif pada kesejahteraan emosional. Dengan memanfaatkan media sosial, remaja mrnjadi gemar mengekspos diri mereka pada perilaku semacam ini karena perilaku semacam ini disebabkan terutama berasal dari media sosial. Media sosial juga menyediakan platform untuk perilaku trolling karena memungkinkan orang untuk benar-benar disembunyikan sehingga mereka dapat mengambil keuntungan dari menjadi anonim. Meskipun demikian, ada penerimaan umum bahwa ini adalah cara media sosial dan bahwa itu adalah dunia maya di mana akan selalu ada orang-orang seperti itu dan ada banyak orang yang jahat di media sosial

Media sosial membuat ketagihan

Penggunaan media sosial yang tinggi dapat menyebabkan kecanduan. Menurut Kumorotomo, (2010) kecanduan media sosial dapat menyebabkan timbulnya masalah psikis. Orang akan menjadi sangat tergantung sehingga akan merasa hidupnya tidak lengkap jika sehari saja tidak membuka akun media sosial. Hoskin (dalam Kumorotomo, 2010) menyebutkan tujuh akibat jika seseorang sudah kecanduan media sosial yaitu rasa malas bekerja, sifat rakus, iri, dengki, takabur, pemarah, dan mengada-ada. Efek psikis lainnya adalah seseorang menjadi malas mengerjakan hal-hal yang produktif, angkuh, dan narsis.

Kemajuan teknologi segala urusan kehidupan manusia secara perlahan tapi pasti mulai bergantung pada keberadaan internet. Arus komunikasi dan informasi yang selalu bergerak cepat, tetapi terhambat akan masalah jarak, ruang dan waktu dapat dengan mudah diatasi. Perkembangan media sosial yang marak di Indonesia sudah semestinya dapat direspon positif sebagai salah satu media informasi dan komunikasi yang paling efektif dan efisien pada masa sekarang ini. Patut disayangkan apabila keberadaan media sosial tidak dimanfaatkan secara bijak. Penggunaan media sosial yang tidak bijak dapat mempengaruhi kesehatan mental. Media sosial dapat menjelma senjata virtual yang mampu membuat penggunanya mengalami gangguan mental yang berkontribusi sebesar 23% terhadap beban kesehatan mental dunia. Tingginya angka prevalensi gangguan mental berdampak pada beban sosial dan ekonomi dan juga tekanan emosional telah terbukti menyebabkan tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi hingga bunuh diri. Untuk itu perlu strategi yang mampu meningkatkan kesadaran dalam menggunakan sosial media secara positif.



Juara II

Syaifunnisa Puspa Kencana

(Teknik Kimia)


Kesehatan Mental Akar dari Kesehatan Manusia 

Kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting dan erat kaitannya dengan kesehatan manusia secara menyeluruh. Sebagaimana yang dikemukakan oleh World Health Organization (WHO) bahwa kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Hal ini berarti bahwa kesehatan mental merupakan komponen mendasar dari definisi kesehatan itu sendiri.

            Menurut Retnowati (2011), lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan mental. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa prevalensi gangguan jiwa di seluruh Indonesia sebesar 11,6% dari populasi penduduk dewasa di Indonesia. Hal ini berarti bahwa kurang lebih 1,7 juta penduduk dewasa Indonesia mengalami gangguan mental dan memerlukan pertolongan. Adanya stigma yang keliru tentang gangguan mental  yang menghambat akses ke pelayanan kesehatan megakibatkan penanganan yang salah.

Laporan Human Rights Watch Indonesia menyoroti buruknya penanganan Indonesia terhadap warga yang mengalami gangguan mental. Sistem kesehatan di Indonesia dianggap belum mampu menangani kasus kesehatan mental, sehingga tidak dapat dipungkiri jika timbul kesenjangan sosial. Sekitar 85% orang dengan gangguan mental parah di negara berkembang, termasuk Indonesia tidak mendapatkan perawatan maupun pengobatan (Ayuningtyas, dkk, 2018). Penderita gangguan mental mendapatkan penanganan yang lambat, sehingga tidak jarang berujung pada kasus kematian atau bunuh diri akibat depresi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh WHO, menunjukkan sekitar 1,6% hingga 1,8% dari 100.000 orang di Indonesia melakukan tindakan bunuh diri (Subandi, dkk, 2011).

Selain itu, pengetahuan masyarakat tentang kesehatan mental masih belum memadai, sehingga sering menganggap bahwa gangguan mental adalah hal yang tabu dan sering dikaitkan dengan kejadian-kejadian gaib. Beberapa masyarakat memilih untuk mengurung atau memasung penderita gangguan mental. Menurut Puteh, dkk. (2010) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pemasungan banyak terjadi di negara-negara berkembang yang jarang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Dapat diketahui bahwa lebih dari 57.000 orang dengan gangguan kesehatan mental pernah dipasung setidaknya sekali dalam hidup mereka, karena dianggap sebagai individu berbahaya yang melakukan kekerasan fisik.

Menurut WHO, gangguan mental terdiri dari berbagai masalah dengan berbagai gejala. Namun, gangguan mental umumnya memiliki ciri berupa kombinasi abnormal pada pikiran, emosi, perilaku dan hubungan dengan orang lain. Contohnya adalah skizofrenia, depresi, cacat intelektual dan gangguan karena penyalahgunaan narkoba, gangguan afektif bipolar, demensia, cacat intelektual dan gangguan perkembangan termasuk autisme.

Upaya penanganan kesehatan mental di Indonesia sudah mengalami perkembangan pada kurun waktu terakhir. Salah satunya adalah program Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) yang telah dilakukan di beberapa daerah, di antaranya Kecamatan Kalasan, Desa Selomartani, Sleman Yogyakarta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, DSSJ di Selomartani dibentuk oleh Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia pada tahun 2011. Program ini dibuat setelah mengamati adanya peningkatan intensitas gangguan jiwa di Yogyakarta yang di antaranya merupakan kasus bunuh diri. Program DSSJ berfungsi sebagai tangan kanan Puskesmas dalam melakukan penanganan pasien dengan gangguan kesehatan mental.

Program DSSJ mampu memberikan pengetahuan dan kesadaran masyarakat setempat mengenai kesehatan mental dan berhasil untuk mengurangi stigma negatif masyarakat tentang gangguan mental (Putri, dkk, 2013). Program DSSJ pertama kali dibuat di Nangroe Aceh Darussalam pasca dilanda bencana tsunami. Program ini merupakan pengembangan dari program Community Mental Health Nursing (Wasniyati, 2013). Program ini diharapkan dapat dikembangkan di Indonesia sebagai bentuk alternatif penanganan kesehatan mental masyarakat.

Selain itu, strategi penanggulangan masalah kesehatan mental juga akan dilakukan secara global. WHO mencanangkan visi dari rencana aksi kesehatan mental 2013–2020. Rencana aksi kesehatan mental tersebut adalah dunia dimana kesehatan mental dihargai, dipromosikan dan dilindungi, gangguan mental dicegah dan orang yang terkena gangguan ini dapat melakukan berbagai hak asasi manusia dan mendapat akses kualitas tinggi, kesehatan sesuai budaya dan pelayanan sosial pada waktu yang tepat untuk mendorong pemulihan, yang memungkinkan untuk mencapai kesehatan pada level tertinggi dan berpartisipasi sepenuhnya dalam masyarakat dan di tempat kerja, bebas dari stigmatisasi dan diskriminasi. Secara keseluruhan, tujuan dari rencana aksi kesehatan mental ini adalah untuk mempromosikan kesehatan mental, mencegah gangguan mental, menyediakan pelayanan, meningkatkan pemulihan, mempromosikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan menurunkan kematian, kesakitan, dan kecacatan pada orang dengan gangguan mental (Ayuningtyas, dkk, 2018).

Oleh karena itu, permasalahan mengenai kesehatan mental di dunia, khususnya di Indonesia diharapkan dapat mengalami penurunan yang signifikan dalam kurun waktu yang akan datang. Dengan mempertimbangkan pentingnya kesehatan mental terhadap kesehatan manusia secara menyeluruh, diharapkan adanya aksi nyata yang dilakukan oleh berbagai pihak, antara lain masyarakat, tenaga kesehatan dan pemerintah.  

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama