Sumber : kurawaldfound_id
Indonesia, sebuah negara agraris dengan kekayaan alam yang amat banyak. "Tongkat dan kayu jadi tanaman" Adalah sebuah penggalan lagu yang mana dahulunya menggambarkan negara ini. Apapun yang kita tanam bahkan tongkat--Batang singkong--yang hanya ditancapkan ke tanah dapat menjadi penyambung hidup manusia. Namun, itu dulu. Sekarang? Tanah yang mana kita banggakan sebagai salah satu keajaiban negeri ini menjadi bahan sengketa dan tanpa henti permasalah tentang tanah, agraria dan lain hal yang menyangkut tersebut akan selalu ada di negeri ini. Sampai kapan? menurut saya, hingga lirik lagu di atas berubah menjadi "Beton dan pasak jadi "tanaman"” Ketika manusia mulai menanam beton yang tanpa henti, membangun dan terus membangun tanpa henti tanpa lelah. Tetapi bodo amat terhadap dampak yang sebenarnya menjadi momok yang amat menakutkan bagi manusia di muka bumi ini. Hingga alam mengambil peran untuk "membersihkan" yang semestinya tidak sesuai dengan kodratnya.
Tahun lalu, tepatnya ketika menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan--Ibu Siti Nurbaya Bakar--melontaran statement "Pembangunan pada era Jokowi tidak boleh terhenti atas nama deforestasi" dan ketika itu pula awal mula dari segala macam sebab dan akibat yang sampai saat ini kita rasakan. Bahkan keadaan tersebut diperparah ketika UU Minerba dan UU Cipta Kerja disahkan oleh yang memiliki kewenangan. Pada 3 Maret 2022 terjadi peristiwa pengecaman warga yang menolak tambang di Roko-Roko Raya, Konawe Kepulauan atau Pulau Wawoni. Sejumlah direktur tambang yang mengecam akan memenjarakan warga yang menolak kehadiran tambang di tanah kelahirannya tersebut. Dan parahnya lagi peristiwa tersebut disaksikan oleh aparat kepolisian yang mana hanya diam dan bahkan berpihak kepada direktur tambang yang melakukan intimidasi terhadap warga. Ya, seperti itulah kondisi negeri ini, yang tanahnya menjadi sengketa, kebebasan warga untuk hidup dan menghidupi ruang hidupnya didiskriminasi dan diancam oleh mereka yang memanfaatkan tanah untuk kepentingnya semata, bahkan aparat yang harusnya menjadi penengah dan juga menjadi pembela terhadap kaum lemah malah ikut serta mengintimidasi. Pantas tagar #Percumalaporpolisi hingga saat ini terus menjadi buah bibir netizen Indonesia. Ya jelas, aparatnya aja malah mengintimidasi rakyatnya kok. Katanya pengayom, katanya pelindung, tapi nyatanya, mereka hanya pengayom bagi mereka yang beruang dan pelindung mereka para kaum oligarki.
Tahun lalu, tepatnya ketika menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan--Ibu Siti Nurbaya Bakar--melontaran statement "Pembangunan pada era Jokowi tidak boleh terhenti atas nama deforestasi" dan ketika itu pula awal mula dari segala macam sebab dan akibat yang sampai saat ini kita rasakan. Bahkan keadaan tersebut diperparah ketika UU Minerba dan UU Cipta Kerja disahkan oleh yang memiliki kewenangan. Pada 3 Maret 2022 terjadi peristiwa pengecaman warga yang menolak tambang di Roko-Roko Raya, Konawe Kepulauan atau Pulau Wawoni. Sejumlah direktur tambang yang mengecam akan memenjarakan warga yang menolak kehadiran tambang di tanah kelahirannya tersebut. Dan parahnya lagi peristiwa tersebut disaksikan oleh aparat kepolisian yang mana hanya diam dan bahkan berpihak kepada direktur tambang yang melakukan intimidasi terhadap warga. Ya, seperti itulah kondisi negeri ini, yang tanahnya menjadi sengketa, kebebasan warga untuk hidup dan menghidupi ruang hidupnya didiskriminasi dan diancam oleh mereka yang memanfaatkan tanah untuk kepentingnya semata, bahkan aparat yang harusnya menjadi penengah dan juga menjadi pembela terhadap kaum lemah malah ikut serta mengintimidasi. Pantas tagar #Percumalaporpolisi hingga saat ini terus menjadi buah bibir netizen Indonesia. Ya jelas, aparatnya aja malah mengintimidasi rakyatnya kok. Katanya pengayom, katanya pelindung, tapi nyatanya, mereka hanya pengayom bagi mereka yang beruang dan pelindung mereka para kaum oligarki.
Kembali kita flashback
sedikit ke saudara kita yang berada di Wadas. Apa kabar Wadas? sudahkah saudara
kita mendapatkan apa yang semestinya mereka dapatkan? Padahal Pak Gubernur pun
sering wira-wiri ke Desa Wadas. Ada perubahan kah? Ya, jelas ada. Semakin hari
semakin terdengar rintihan, keluh kesah warga wadas yang mana akhir bulan lalu
(Februari 2022) hingga awal bulan ini (Maret 2022) semakin terdengar, namun semakin senyap pula
suara mereka didengar. Banner-banner yang mana menjadi simbol penolakan dan
perlawanan masyarakat wadas sengaja di cabut dan di rusak tanpa seizin. Jelas,
tanpa seizin. Kalau izin mah bukan merusak namanya. Ya, begitulah negeri ini,
di saat rakyatnya diminta untuk bersuara, namun, malah dibungkam, di saat
rakyatnya berkeluh kesah, namun, malah dirasa-rasa mengganggu pembangunan yang
hanya berpihak pada kaum oligarki. Parahnya lagi, jika kita memaknai tindakan
aparat yang mencabut hingga merusak poster-poster yang berisi suara para warga Wadas yang menolak tambang batu andesit adalah sebuah kecacatan demokrasi,
penghinaan dan pelecehan atas nama demokrasi yang tidak lain dan tidak bukan
pelakunya adalah pengayom, pelaksana serta pegawas jalanya demokrasi di negeri
ini. Jelas si, menelan air ludah tidak akan membuat air ludah itu habis.
Dari beberapa persoalan di atas
adalah permasalahan yang berhubungan dengan tanah, lagi-lagi tanah. Seolah
tanah adalah sebuah permata di negeri ini, ya memang si. Indonesia dikenal
dengan surganya mineral yang terkandung di tanahnya. Maka jelas, pasti akan
menjadi sebuah perebutan untuk memperkaya diri. Seakan sebuah ajang untuk
memperkaya diri dengan mengeksploitasi yang seharusnya manusia jaga dan
lestarikan yang mana, dalam pengekplotasiannya dibingkai rapi dalam konstitusi yang berlaku di negeri ini. Ya, begitulah negeri ini dengan segala sandiwaranya.
Ya, setidaknya kita sebagai mahasiswa tidak dituntut untuk memperjuangkan hak
saudara kita secara langsung, tetapi wajib bagi kita untuk tetap terus
memperjuangkan dengan segala apapun yang kita miliki dan kita bisa.
Panjang umur
perlawanan.
Penulis: Alief
Tags
Online