Menyatukan Suara Gerakan Mahasiswa

 


Sumber Foto: Dokumentasi

Fenomena menarik dirinya beberapa lembaga eksekutif mahasiswa dari gerakan “Solo Raya Menggugat” dapat kita tafsirkan sebagai pecahnya suara mahasiswa. Ambil contoh, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (BEM UNS) yang menyatakan sikap untuk tak ikut dalam aksi ini karena terkesan eksklusif. Atau Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Seni Indonesia Surakarta (BEM ISI Surakarta) yang memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan tuntutan kepada pemerintah, yaitu dengan seni–sebagaimana mestinya mahasiswa seni.

Permasalahan tak hanya sampai di situ. Substansi dari tuntutan massa aksi pun bisa dibilang masih belum mengakomodir dari permasalahan utama yang ada. Absennya tuntutan untuk menolak perpanjangan atau penambahan periode masa jabatan presiden dari tuntutan utama aksi kemarin perlu kita soroti. Seolah, aksi kemarin tidak mencerminkan dari apa yang rakyat Indonesia resahkan. Padahal, wacana untuk menambah periode masa jabatan presiden merupakan isu yang menjadi kekhawatiran di seluruh Indonesia. Isu ini muncul tak lain karena lemahnya oposisi di parlemen. Hal itulah yang membuat mahasiswa di seluruh Indonesia kembali turun ke jalan untuk mengawasi wakil rakyat sudah menjalani perannya dengan baik.

Dengan sekelumitnya permasalahan yang ada, aksi Badan Eksekutif Mahasiswa se-Solo Raya (BEM SR) kemarin terasa seperti hanya sebagai ajang eksistensi diri. Tak meleburnya cita-cita yang sama membuat gerakan mahasiswa terkesan seperti gerakan individu. Konsolidasi bukan hanya menjadi perkumpulan untuk membagi tugas layaknya pembagian job kepanitiaan, tetapi juga menyatukan suara mahasiswa.

Duduk Perkara Menarik Diri

Salah satu alasan yang mendasari eksekutif mahasiswa UNS untuk tak ikut tergabung dan menghimbau mahasiswanya untuk tidak ikut dalam aksi kemarin adalah karena kesan ekslusivitas atas pembatasan massa yang ingin bergabung pada aksi tersebut. Aksi yang mengusung “Solo Raya Menggugat” tak benar-benar mewakili Solo Raya. Hal ini dikarenakan hanya segelintir kaum saja yang bisa mengikuti aksi tersebut, yaitu mereka yang memiliki jas almamater (baca: berasal dari perguruan tinggi). Bukan berarti mereka tak mengusulkan perihal ini, namun karena konsolidasi yang tak meleburkan suara sehingga usul mereka ditolak.

Ketentuan seperti ini sangat disayangkan karena substansi yang dilayangkan pada demo kali ini bukan hanya dirasakan oleh segelintir mahasiswa, namun juga masyarakat umum yang terdampak. Pembatasan massa aksi ini hanya membuat gerakan mahasiswa menjadi terkesan ekslusif. Kaum mahasiswa menjadi kaum elit yang tak ingin tercampur dengan kaum terpinggirkan. Dan menegaskan masyarakat umum adalah mereka yang tak memiliki daya pikir sehingga suaranya perlu diwakilkan. Padahal, besar keyakinan penulis, tak semua mahasiswa yang megikuti aksi ini memahami betul dengan apa yang menjadi tuntutan. Ini dapat kita lihat dari banyaknya mahasiswa yang hanya menjadikan momen seperti ini sebagai ajang eksistensi diri di media sosial. Layakkah mahasiswa model seperti ini mewakili suara masyarakat?

Toh, saat aksi ini berlangsung, fasilitas umum yang seharusnya dapat dinikmati masyarakat juga direnggut sementara waktu untuk gerakan satu ini. Masyarakat yang seharusnya dapat menikmati fasilitas harus berbesar hati karena haknya untuk sementara waktu disita demi keberlangsungan acara ini.

Alasan Klise

Alasan tidak diikutkannya masyarakat umum untuk bergabung ke dalam massa aksi ini adalah tak lain dan tak bukan karena masalah keamanan. Dalih mereka yang mengusung gerakan ini adalah tidak ingin aksi ini tersusupi oleh perusuh dan provokator. Seolah belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya, maka massa gerakan kali ini butuh dibatasi guna menghindari kekacauan.

Fenomena seperti ini hanya semakin mempertegas ketimpangan kelas-kelas antara mahasiswa dan masyarakat. Mengkambinghitamkan penyusup yang berasal dari masyarakat sebagai biang kerok pemicu kerusuhan di setiap demo bisa kita lihat sebagai kecilnya kapasitas berpikir mahasiswa. BEM SR perlu belajar banyak dalam hal memiminalisir kerusuhan di setiap pergelaran aksi. Seperti demo yang dimotori oleh BEM SI. Bukan berarti tak ada penyusup yang mendompleng gerakan 11 April kemarin, namun karena mereka mampu untuk mengontrol peserta aksi sehingga kericuhan yang dilakukan oleh penyusup dapat dihindari. Inilah pentingnya konsolidasi. Bukan hanya sebagai pembagian tugas dan korlap saja, namun juga sebagai bentuk pencerdasan terhadap peserta aksi.

 

Penulis: Widi T. (Mahasiswa Fakultas Teknik UMS)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama