Masih adakah Ruang Aman bagi Perempuan dari Kekerasan Seksual?

Kekerasan seksual merupakan hal yang sudah tidak asing lagi didengar telinga kita. Bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Bisa menimpa siapa saja dan dilakukan oleh siapa saja, bahkan orang terdekat sekalipun. 12 tahun hingga tahun 2020 ada kenaikan 792% atau 8 kali lipat kasus kekerasan seksual. Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan yang bernuansa seksual, baik yang disampaikan melalui kontak fisik maupun kontak non-fisik dan biasanya menyasar bagian tubuh seksual atau area seksualitas seseorang. Tindakan yang termasuk pelecehan seksual dapat berupa siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan hal berbau pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh bahkan gerakan atau isyarat yang bersifat seksual dimana tindakan tersebut mengakibatkan seseorang merasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, hingga menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

Kekerasan seksual tidak terlepas dari pelaku pelecehan seksual yaitu laki-laki dan perempuan sebagai korban. Walaupun begitu, masih banyak juga kekerasan seksual yang bahkan terjadi pada kaum laki-laki. Namun budaya patriarki yang mengakar hingga saat inilah yang menjadi alasan tingginya kasus pelecehan seksual terhadap perempuan. Peran laki-laki ditempatkan sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender. Laki-laki selalu lebih mendominasi daripada perempuan dalam segala aspek dan perempuan dianggap menjadi kaum lemah dan pantas didominasi. Patriarki membuat posisi perempuan lumrah untuk dijadikan objek seksual oleh laki-laki. Hal inilah yang menjadi dasar akan terjadinya kekerasan seksual yang menimpa kaum perempuan. 

Dalam kehidupan bermasyarakat, pelecehan seksual sering kali disebabkan oleh kesalahan yang dibuat perempuan. Mulai dari mereka yang pulang larut malam, mengenakan pakaian ketat atau terbuka, dan riasan yang dianggap mengundang nafsu kaum laki-laki. Padahal tidak serta merta alasan itu menjadi alasan konkrit perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Tidak hanya di lingkungan masyarakat, kekerasan seksual juga bisa terjadi di lingkungan yang lebih sempit seperti lingkungan perguruan tinggi. Berdasarkan survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi pada tahun 2020, 27 persen dari semua aduan kekerasan seksual itu terjadi di Perguruan Tinggi dan menurut survei yang dilakukan oleh Kemendikbud, 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen kasus tidak dilaporkan lebih lanjut. Kampus yang semestinya menjadi tempat untuk mencari ilmu malah menjadi tempat yang menakutkan bagi perempuan, menjadi bayang-bayang hitam yang selalu mengikuti dimanapun perempuan berada.  

Kekerasan seksual di kampus biasanya terjadi antara seseorang yang memiliki kekuatan / kedudukan yang lebih tinggi terhadap seseorang yang berada di bawahnya. Misalnya antara pejabat tinggi di kampus terhadap staf di bawahnya atau dosen, dosen terhadap mahasiswa, maupun mahasiswa senior terhadap mahasiswa junior. Seseorang yang bertindak sebagai pemegang kekuasaan utama cenderung dapat melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Minimnya edukasi dan kesadaran dari setiap pribadi menjadi dasar terjadinya kekerasan seksual ini. Banyak kasus kekerasan seksual terjadi di kampus, namun hal itu disembunyikan atas alasan nama baik kampus. Dengan adanya pemikiran seperti ini, tidak mungkin bisa menciptakan lingkungan kampus yang aman terkhusus untuk perempuan. 

Kita sebagai mahasiswa memiliki hak dan kewajiban untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman bagi seluruh mahasiswa terkhusus perempuan dari tindakan kekerasan seksual. Dengan mengubah pola pikir kita dan semua kalangan dalam menghadapi kekerasan seksual, dapat membuat lingkungan kampus bahkan lingkungan masyarakat menjadi lebih aman. Jika memang ternyata terdapat oknum yang mengalami kekerasan seksual, tugas kita sebagai mahasiswa adalah mengawal kasus tersebut agar tidak terjadi hal serupa di kemudian hari. Kita juga bisa mendesak kampus dalam menanggapi kekerasan seksual dengan membuka dialog bersama petinggi-petinggi kampus. Perguruan tinggi dapat melakukan survey terkait kekerasan seksual setidaknya 6 bulan sekali sebagai bentuk dukungan penuh terhadap pencegahan kekerasan seksual. Hidup Mahasiswa!! Hidup Perempuan Yang Melawan!!


Penulis : Bella (Mahasiswa FT UMS)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama