Belakangan beberapa masyarakat Indonesia, pelaku usaha digital, content creator, dan para pengguna platform lainnya merasa dirugikan dengan kebijakan pemblokiran yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Melalui Peraturan Menteri No. 5 Tahun 2020, Menteri Komunikasi dan Informasi memblokir beberapa platform yang tidak mendaftarkan perusahaannya ke dalam PSE. Dalam peraturan tersebut, platform digitial wajib mendaftarkan diri sebelum Rabu (20/7/2022).
Banyak raksasa digital enggan mendaftarkan diri bukan tanpa alasan. Terdapat beberapa pasal “karet” di dalam Peraturan Menteri tersebut. Menurut pakar IT, Teguh Aprianto, beberapa pasal karet di antaranya:
Pasal 9 ayat 3 dan 4
Ayat 3 berbunyi "PSE Lingkup Privat wajib memastikan: (a) Sistem Eletroniknya tidak memuat informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang dilarang; dan. (b) Sistem Elektroniknya tidak memfasilitasi penyebaran Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilarang".
Sementara Ayat 4 berbunyi "Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan klasifikasi: (a) melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum; dan (c) memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilarang".
Menurut Teguh, kata "meresahkan masyarakat" dan "mengganggu ketertiban umum" inilah yang menjadi sumber permasalahannya.
"Nantinya bisa digunakan untuk 'mematikan' kritik walaupun disampaikan dengan damai. Dasarnya apa? Mereka tinggal jawab 'mengganggu ketertiban umum'," kata Teguh melalui akun Twitter-nya dengan handle @secgron.
Kalimat “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum” ini dapat menjadi senjata untuk membungkam kebebasan berekspresi publik. Hal ini dikarenakan tidak ada tolok ukur yang konkret untuk menafsirkan kalimat tersebut sehingga maknanya menjadi luas.
Pasal 14 ayat 3
Pasal 14 ayat 3 berbunyi "Permohonan sebagaimana dimaksud bersifat mendesak dalam hal: (a) terorisme; (b) pornografi anak; atau (c) konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum".
Dalam pasal 14 tersebut diatur permohonan pemutusan akses informasi terhadap hal-hal yang diatur dalam pasal 14 ayat 3. Ditemukannya lagi kalimat “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum” dapat membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Pasal 36
Ayat 1 berbunyi “PSE Lingkup Privat memberikan akses terhadap Data Lalu Lintas (traffic data) dan Informasi Pengguna Sistem Elektronik (Subscriber Information) yang diminta oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal permintaan tersebut disampaikan secara resmi kepada Narahubung PSE Lingkup Privat”.
Tak hanya dapat menghapus konten yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, aparat juga dapat mengakses data pribadi para pengguna.
Dalam pasal 36 ini, para penyelenggara wajib memberikan akses terhadap data lalu lintas pengguna platform.
"Apa jaminannya bahwa ini nantinya tidak akan disalahgunakan untuk membatasi atau menghabisi pergerakan mereka yang kontra pemerintah? Ga ada kan?" pungkas Teguh.
Melampaui KUHAP dan Mengancam Kebebasan Pers.
Tidak hanya melalui pasal karetnya yang dapat membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat, peraturan ini juga disinyalir melampaui hukum acara di KUHAP. Tindakan memaksa seperti penyitaan dan penggeledahan hanya dapat dilakukan melalui izin ketua pengadilan.
Dalam peraturan tersebut diatur, demi kepentingan pengawasan maka aparat dapat mengakses data pribadi pengguna platform dengan dalih “penegakan hukum”.
Selain itu, peraturan ini juga dapat mengancam kebebasan pers. Dengan leluasanya para aparat dapat menghapus konten yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, maka ruang gerak pers akan semakin sempit. Padahal, pers memiliki mekanisme tersendiri untuk mengatur jalannya penyelenggaran kegiatan kejurnalistikan melalui UU Pers yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan peraturan menteri.
Kontributor: Widi Trivito