Dikotomi peran mahasiswa oleh sang perenggut “kebebasan”
Berbicara tentang kebebasan, apa sebenarnya maksud itu jikalau kebebasan tak bersifat absolut dan semua adalah fana selagi masih ada kebebasan yang tak bebas oleh kebebasan lainnya. Seperti halnya kehidupan pekerjaan buruh yang direnggut kebebasannya oleh atasan dan kehidupan pekerjaan si-atasan yang direnggut oleh pemodal. Seperti halnya sebuah domino, bahwa kebebasan itu akan selalu hilang oleh sebab lainnya.
Sebagai seorang mahasiswa, tentu kita memiliki tanggung jawab yang lebih akan keberlangsungan hidup orang banyak. Bahkan hal tersebut mulai ditanamkan pada awal melangkah dibangku perkuliahan kita digembar gemborkan bahwa kita adalah agent of change, social control, iron stock, kekuatan moral, dan penjaga nilai. Sadar atau tak sadar, peran-peran tersebut akan membentuk pemahaman identitas mahasiswa secara intersubjektif.
“Kampus bukanlah sirkus. Singa sirkus mampu belajar duduk di kursi, lantaran takut diancam dengan cambuk. Ia memang terlatih kemudian, tapi tidak terdidik.” (3 Idiots)
Apalagi, saat ini tak bisa dipungkiri lagi bahwasannya institusi pendidikan tak lebih dari sekedar pabrik pencetak buruh, buruh yang melanggengkan sistem kapitalisme dinegeri ini. Aristoteles pernah menyinggung bahwa pendidikan adalah rangkaian pengetahuan yang Architectonic, di mana model pendidikan dalam suatu negara atau rezim tertentu akan ditentukan oleh paradigma ekonomi politik yang dianut oleh negara atau rezim tersebut. So, yakinkah seorang mahasiswa adalah manusia yang bebas? Manusia yang berdiri dan belajar atas moral dan untuk kemaslahatan bersama.
Mestinya, kampus adalah tempat aman dan progesif yang bebas untuk mengekplorasikan diri. Dan yang terpenting kampus mestinya adalah tempat dimana segala pemikiran berkembang. Namun itu semua hanyalah sebuah isapan jempol belaka, apalagi dikampus yang penulis hidup disini. Mahasiswa hanya sebuah alat untuk melanggengkan eksistensi kampus, mahasiswa hanya sebuah robot yang diperintah untuk terus berkerja dan dibatasi ruang geraknya. Ormawa yang mestinya menjadi salah satu tempat belajar dikampus mulai digerogoti kepentingan elit kampus. Membatasi waktu bergeraknya, membatasi ruangnya bergerak. Lalu dimana lagi kami dapat belajar selain membahas tentang subtansi angka dan sebuah pragmatisme kelas yang hanya berkutat tentang nilai diatas kertas. Ya, memang ada sebagian mahasiswa yang masih berjalan dijalannya, bukan jalan yang dibuat biroktat kampus. Namun itu tak lebih dari buih dilautan. Karena mulai semenjak awal kami dituntut mengikuti sistem pendidikan yang melegalkan perampasan kebebasan atas pemikiran yang diluar dari dinamika peran mahasiswa.
Akhirnya, penulis hanya bisa membawa pembaca untuk mengamini serta bersama merefleksi dengan sajak dibawah ini
TALAMARIAM
Kami ada semenjak tuan membangun pagar yang mengontrol apa yang pantas keluar masuk halaman rumah pemikiran kami
Kami ada semenjak tuan mewajibkan kami mengkonsumsi teh merek ini
sinetron monoton siang hari
Berita berita hasil laboratorium si pemilik modal atau pakaian pakaian ciptaan tuan
Kami ada semenjak tuan bertutur tentang batas,tentang benteng, tentang penjara,tentang segala hal rancuh,tentang kosa kata ambigu,tentang pelarangan imajinasi yang tabu atau tentang hewan yang harus di kandang
Kami ada semenjak tuan mengatur apa yang boleh kami baca,apa yang boleh kami yakini, apa yang harus kami berhalakan di kemudin hari
Kami ada semenjak tuan menunggangi batarakala. Semenjak tuan berlagak mengatur hujan. Semenjak tuan memberhalakan diri tuan sendiri dan dengan congkak mengatur lalu lintas serasi bintang
Ketika tuan merasa setiap kata ada sabda. Maka kami berkerumun untuk menjadi pembangkang dari setiap titik dan tanda seru yang tuan ucapkan.
Jika tuan merasa setiap wewenang adalah kalam. Kami bergerombol di setiap sudut gang. Untuk menjadi pembangkang dari setiap peraturan yang tuan turunkan.
Kami kecil namun kami lahir dari rahim para pemberontak. Kami lemah namun setiap saudara kami siap mati, Agar matahari dan bulan tak jatuh ke tangan tuan.
Kami adalah reinkarnasi para samin,para badui dan pribumi yang tidur di pangkuan semesta
Kami adalah minak jinggo,kami adalah truno joyo, kami adalah penggik dan manggir
Kami bukan merah,bukan biru atau kuning
Kami adalah hitam yang merangkum semua warna yang diabaikan
Kami bukan kanan,bukan pula kiri atau tengah,bukan bawah atau atas
Kami adalah bayang bayang yang membuat semua itu berdimensi
Kami adalah katalisator yang dimiliki alam semesta. Kami adalah gempa yang mengingatkan tuan bahwa tuan tak bisa mengendalikan grafitasi
Penulis: Lamalif.