Jumat siang (29/8), ratusan massa mulai berkumpul di depan Markas Brimob Solo.
Mereka datang dengan tangan kosong, hanya teriakan tuntutan yang bergema di
bawah terik matahari. Suasana awalnya masih terkendali, dengan barisan aparat
menjaga jarak dan sebagian warga sekitar menonton dari kejauhan.
Sebelum ketegangan memuncak, selepas Salat Jumat massa sempat
melaksanakan salat bersama. Salat gaib dipanjatkan sebagai bentuk berkabung
atas meninggalnya saudara Affan. Dalam momen itu, suasana sempat hening,
barisan massa yang gelisah dan aparat yang berjaga larut dalam keheningan doa
yang sama.
Ketenangan tersebut tak berlangsung lama. Perlahan, tensi kembali
meningkat. Dorongan-dorongan kecil mulai terjadi di barisan depan, hingga
akhirnya garis pemisah antara aksi damai dan kericuhan pun semakin menipis.
Solo punya cara
sendiri untuk mencatat sejarah hari itu. Kericuhan di depan Mako Brimob pecah,
ketika dorongan antarbarisan berubah menjadi lemparan benda ke arah aparat. Suasana cepat
memanas, hingga akhirnya Aparat menembakkan gas air mata untuk membubarkan
massa. Kepulan gas tidak hanya menyelimuti area Mako Brimob, tetapi juga meluas
ke sejumlah titik di sekitar Stadion Manahan.
Shelter makanan yang biasa menjadi tempat singgah pengunjung juga ikut
berdampak, menyebabkan warga berhamburan menyelamatkan diri. Gas air mata
bahkan sampai masuk ke area SMA N 4 Surakarta yang lokasinya tak jauh dari
titik kericuhan.
Asap
putih memenuhi udara, membuat sebagian orang berlarian mencari tempat aman,
sementara sisanya justru bertahan dan terus berteriak menentang.
“Awalnya
damai, tapi tiba-tiba suasana berubah, esensinya bukan lagi demo tapi anarkis”
ujar Yoga, warga sipil yang ikut menyaksikan aksi demo.
Korban juga
datang dari kalangan tenaga medis yang seharusnya bertugas memberikan
pertolongan. Seorang relawan mengalami sesak napas parah setelah terpapar gas
air mata, sementara rekannya mengalami luka pada kaki hingga melepuh akibat
terkena percikan benda panas saat berusaha mengevakuasi korban lain. Kejadian
ini memperlihatkan bahwa kericuhan bukan hanya melukai aparat dan pendemo,
tetapi juga mereka yang berada di garis belakang kemanusiaan
Menjelang Maghrib, titik ketegangan berpindah ke kawasan Gladag hingga sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Batu beterbangan, teriakan semakin keras, dan bau asap mulai tercium. Api mulai membakar sebuah sepeda motor dan satu truk milik polisi yang terparkir di tepi jalan. Api membubung, asap hitam mengepul ke udara, membuat orang-orang berlarian menjauh.
Di tengah kepanikan itu, tindakan represi
aparat membuat emosi massa semakin memuncak. Gas air mata kembali ditembakkan,
dan benturan fisik tak terelakkan. Seorang jurnalis dari lembaga pers mahasiswa
(LPM) Pabelan yang sedang meliput ikut menjadi korban, terkena dampak langsung
dari kekacauan. Di sisi lain, seorang sopir relawan ambulans mengalami
pemukulan hingga terluka di bagian kepala ketika hendak mengevakuasi korban.
Kekerasan juga menelan korban dari pihak
demonstran. Salah satu peserta aksi dilaporkan tertembak peluru karet hingga
menyebabkan luka dikepala dan pingsan, memicu amarah yang kian membara. Massa
bereaksi dengan cara mereka sendiri: melemparkan batu, membakar kendaraan, dan
melakukan perlawanan spontan sebagai bentuk membela diri. Malam itu, Solo
seolah kehilangan wajah damainya, berubah menjadi kota yang dipenuhi teriakan,
dentuman, dan cahaya api di sepanjang jalan.
Namun puncak
ketegangan tak hanya berhenti disitu, ketika malam menjelang dini hari ratusan
massa mulai mengepung Gedung DPRD Kota Solo. Suasana mencekam: kaca-kaca pecah,
pagar didobrak, hingga akhirnya api berkobar melalap sebagian gedung tersebut
diantaranya pos satpam dan gedung bagian timur. Kobaran api terus menyala
hingga menjelang subuh, ketika massa perlahan mulai membubarkan diri.
Keesokan harinya, Sabtu pagi, Solo terasa muram. Gedung DPRD masih
hangus, dengan dinding hitam bekas jilatan api. Sejumlah warga berdiri
memandang dengan wajah gelisah.
Meski aktivitas ekonomi mulai berjalan kembali, bayang-bayang ketakutan
masih terasa. Jalanan utama masih dijaga ketat aparat, sementara pemerintah
daerah berupaya meyakinkan warga bahwa keadaan segera pulih.
Peristiwa
ini meninggalkan jejak luka bagi Kota Solo. Jalanan yang biasanya penuh dengan
aktivitas warga kini dipenuhi sisa kericuhan, pedagang kecil terpaksa menutup
warung lebih awal, dan fasilitas umum rusak menjadi saksi bisu amarah yang
pecah di tengah kota. Namun, menilai peristiwa itu hanya dengan hitam-putih
jelas tidak adil. Tidak sepenuhnya salah dapat ditimpakan pada para pendemo,
sebab di balik teriakan dan amukan mereka ada keresahan yang lama terpendam,
ada suara-suara yang merasa tak pernah benar-benar didengar.
Di tengah asap gas air mata dan kobaran api,
ada wajah-wajah muda yang sebenarnya hanya ingin perubahan, ada pula
orang-orang kecil yang terbawa arus situasi tanpa benar-benar tahu bagaimana
akhirnya semua akan berujung. Bagi sebagian warga, demonstrasi itu hanyalah
ancaman bagi sebagian lainnya, itu adalah satu-satunya cara menyalurkan
kekecewaan.
Dan di situlah ironi terbesar peristiwa ini sebuah
kota yang dikenal ramah dan hangat harus menanggung luka akibat amarah yang
tidak lagi bisa dibendung. Pada akhirnya, demo ini tidak bisa sekadar dipandang
sebagai soal benar atau salah, melainkan sebagai tanda bahwa ada yang sedang
bergejolak di tengah masyarakat, menuntut untuk dipahami dan dicari jalan
keluarnya.